Rabu, 26 Januari 2011

Fitnah Antek-antek Zionis Amerika di Indonesia

Suasana pertemuan bulanan Forum Umat Islam Rabu, 12 (12/1/2010) di kawasan Jakarta Selatan terkesan penuh dengan kegeraman dari para tokoh, kyai dan ulama serta aktivis yang menghadiri rapat tersebut. Bagaimana tak geram, laporan hasil “penelitian” yang dilakukan oleh Setara Institute, sebuah LSM Komprador asing, jelas-jelas menudingkan telunjuknya kepada ormas Islam dan beberapa ulama sebagai pelaku kekerasan.

Laporan yang lebih tepat disebut dan dikategorikan sebagai laporan intelijen tersebut sepertinya memilliki agenda untuk memecah belah umat Islam dan memprovokasi aparat Negara agar memusuhi Islam dan umat Islam. Seolah bersandar pada nilai anti kekerasan, padahal justru rekomendasi Setara tersebut menganjurkan kekerasan struktural oleh Negara kepada rakyat sendiri.

Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Setara melalui “penelitian” tersebut adalah perwujudan dari agenda besar kaum Zionis Internasional yang bermarkas di Amerika Serikat. Agenda kaum Zionis tersebut adalah menghancurkan umat Islam melalui berbagai makar dan fitnah.

Makar oleh pasukan iblis yang terdiri dari golongan jin dan manusia ini tidak lain dan tidak bukan adalah semata untuk menghalangi manusia dari jalan Allah. Pasukan iblis yang berwujud manusia ini melakukan makar dengan berbagai cara yang berbungkus dan berwajah kemanusian dan membentuk berbagai macam organisasi yang mengusung slogan kemanusiaan atau pencerahan, dan saat ini slogan yang mereka gunakan adalah HAM dan Demokrasi, sikap moderat dan toleransi. Mereka tak peduli, walaupun pihak yang mereka tuding tersebut, yaitu umat Islam justru sedang dizhalimi diberbagai tempat.

Yang menarik, cara kerja zionis internasional tersebut, adalah degan merekrut dan menggunakan orang-orang lokal untuk menjalankan agenda zionis menguasai dunia. Mereka membentuk jaringan kerja, mulai dari aktivis kampung hingga para birokrat dan petinggi negeri. Jaringan ini bekerja diberbagai sektor kehidupan, mulai dari pendidikan, perekonomian, birokrasi, politik, hingga sosial kemasyarakatan.

Jaringan zionis internasional tersebut, sudah bercokol lama di negeri ini, bahkan sejak masa penjajahan Belanda, karena memang beberapa pegawai Pemerintah Hindia Belanda adalah anggota dari jaringan tersebut. Bahkan Belanda merupakan salah satu tempat pertemuan jaringan zionis internasional se-Eropa.

Dr. Th. Stevens, seorang sejarawan Belanda, dalam bukunya yang beredar sangat terbatas berjudul, Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, memuat banyak bukti yang menjelaskan tentang gerakan-gerakan kesukuan dan berbasiskan sekulerisme, pluralisme dan liberalism dan anti Islam yang digerakkan oleh tokoh-tokoh anggota jaringan Zionis Internasional. Namun dalam buku-buku pelajaran sejarah resmi yang digunakan di sekolah-sekolah, organisasi-organisai pergerakan ini disebut sebagai pergerakan Nasional yang membangkitkan nasionalisme dan banyak para tokohnya disebut sebagai tokoh nasional dan bahkan pahlawan nasional.

Diantara organisasi yang paling tenar disebut-sebut sebagai awal dari kebangkitan nasional dalam buku Dr. Th Stevens tersebut adalah Boedi Oetomo yang ternyata beberapa tokoh kuncinya adalah anggota jaringan Zionis Internasional, seperti Pangeran Ario Notodirejo yang merupakan anggota Loge Mataram dan ketua Boedi Oetomo antara tahun 1911-1914. Ia juga menyusup ke dalam Sarekat Islam yang pada tahun 1911 berhasil membuat rapat umum yang dihadiri oleh 10.000 orang, sehingga membuat pihak Belanda dan anteknya khawatir, lalu menugaskan anteknya untuk menyusup ke dalam Sarekat Islam.

Beberapa nama lain yang berasal dari kalangan lokal yang menjadi bagian dari jaringan Zionis Internasional adalah Raden Adipati Tirto Koesomo, Bupati Karang Anyar dan menjadi anggota Loge Mataram sejak tahun 1895. Terdapat juga mas Boediarjo, Raden Mas Toemenggoeng Ario Koesoemo Yoedha, Dr. Rajiman, bahkan pada masa-masa tahun 1950, Kepala Kepolisian Republik Indonesia adalah juga merupakan anggota Loge Indonesia Purwo-Daksina dan sekaligus sebagai Suhu Agung dari Timur Agung Indonesia atau Federasi Nasional Mason dan juga merangkap sebagai ketua yayasan Raden Saleh. Begitu juga tokoh pendidikan dan pahlawan Nasional yang menolak pendidikan agama pada kurikulum sekolah yang didirikannya dan menggantinya dengan pendidikan Budi Pekerti, yaitu Ki hajar Dewantara.

Menariknya, jaringan Zionis Internasional ini pernah dibubarkan dan dilarang oleh Presiden Soekarno melalui Lembaran Negara bernomor 18/1961, bulan Februari 1961, yang dikuatkan melalui Keppres No. 264 tahun 1962. Yang dibubarkan adalah berbagai organisasi yang merupakan jaringan Zionis Internasional seperti Rosikrusian, Moral Re-armament, Lion Club, Rotary dan Bahaisme dan seluruh loge (loji) mereka disita.

Yang aneh, justru 38 tahun kemudian, yaitu pada tahun 2000, Abdurrahman Wahid selaku Presiden pada waktu itu, melalui Keppres No. 69 tahun 2000 tanggal 23 Mei 2000, mencabut keppres yang dikeluarkan Soekarno sebelumnya.

Di level internasional. Jaringan Zionis Internasional ini bertugas membuat arahan kebijakan yang dijadikan pegangan oleh berbagai pemerintahan dunia, khususnya Amerika Serikat yang memang Negara bentukan dari kaum Zionis Internasional. Dokumen-dokumen yang dihasilkan oleh jaringan Zionis Internasional ini kemudian diadopsi oleh Pemerintah Amerika Serikat yang kemudian meneruskannya menjadi kebijakan politik luar negeri AS.

Sebagai bukti, pada tanggal 16 Maret 2006 Gedung Putih menerbitkan sebuah dokumen yang berisi strategi keamanan nasional AS (National Security Strategy). Dokumen tersebut menyebutkan bahwa ada dua pilar utama strategi keamanan nasional, pertama mempromosikan kebebasan, keadilan dan kemulian manusia berjuang untuk mengakhiri tirani, mempromosikan demokrasi yang efektif dan memperluas kesejahteraan melalui pasar bebas dan kebijakan pembangunan yang bijaksana. Kedua, menghadapi berbagai tantangan dengan memimpin komunitas demokrasi yang sedang tumbuh. Untuk mencapai hal tersebut maka pemerintah AS akan mengembangkan kebijakan yang solid baik dalam aspek politik, ekonomi, diplomatik dan berbagai alat lainnya yang dianggap mendukung.

Salah satu langkah dari proyek tersebut adalah menggunakan bantuan asing untuk mendukung pembangunan pemilu yang fair dan bebas, penegakan hukum, masyarakat sipil (civil society), hak-hak perempuan, kebebasan media serta kebebasan beragama (National Security Strategy, hal 6).

Dalam dokumen tersebut juga dibahas strategi untuk meredam ancaman dan perkembangan teroris dan ideologinya. Salah satunya adalah memberdayakan sesuatu yang paling diincar oleh kelompok teroris: keyakinan penganut Islam. Upaya tersebut difokuskan di dunia Islam dan Yordania, Maroko serta Indonesia dianggap telah memulai proses tersebut. Dalam memerangi teroris yang dianggap sebagai pihak yang intoleran dalam masalah agama (religious intolerance) maka AS akan melakukan:

“we defend the First Freedom: the right of people to believe and worship according to the dictates of their own conscience, free from the coercion of the state, the coercion of the majority, or the coercion of a minority that wants to dictate what others must believe.

(Kami akan mempertahankan kebebasan pertama: hak orang untuk percaya dan beribadah sesuai dengan seruan keyakinannya yang bebas dari paksaan negara, paksaan mayoritas dan paksaan minoritas yang ingin mendikte keyakinan pihak lain).

Dokumen tersebut juga menyatakan bahwa kedekatan aliansi dan persahabatan AS ditentukan seberapa besar negara tersebut memperjuangkan prinsip dan nilai-nilai yang diusung oleh negara tersebut. Semakin intens suatu negara memperlihatkan bahwa mereka menghormati warganegara mereka dan berkomitmen dengan prinsip-prinsip demokrasi maka semakin dekat dan kuat hubungan mereka dengan AS.

Rand Corporation pada tahun 2007 juga menerbitkan sebuah hasil riset yang dipimpin oleh mantan atase Departemen Pertahanan AS, Angel Rabasa yang judul: Building Moderate Muslim Networks. Penelitian ini bertujuan untuk membentuk model jaringan muslim moderat khususnya di dunia Islam yang dianggap memiliki pandangan dan misi yang sejalan dengan nilai dan prinsip-prinsip AS untuk menandingi kaum fundamentalis.

Di dalam dokumen tersebut juga dinyatakan bahwa baik AS akan mendapatkan berbagai keuntungan baik secara publik maupun privat dari penyebaran nilai-nilai demokrasi liberal yaitu: nilai kesamaan (values of equity), toleransi, pluralisme, penegakan hukum dan HAM.

Dalam mewujudkan hal tersebut, secara khusus Departemen Luar Negeri AS bersama U.S. Agency for International Development (USAID) mendapatkan mandat spesifik untuk mempromosikan demokrasi. Untuk menterjemahkan kebijakan ini dalam bentuk tindakan, Deplu AS dan USAID telah mengontrak sejumlah LSM (NGOs), diantaranya National Endowment for Democracy (NED), International Republican Institute (IRI), National Democratic Institute (NDI), Asia Foundation, and Center for the Study of Islam and Democracy (CSID). Semua LSM tersebut sepenuhnya didanai oleh pemerintah AS.

Asia Foundation sendiri dianggap sebagai organisasi yang paling berhasil dalam menjalankan misinya sehingga dijadikan sebagai model penyebaran nilai-nilai demokrasi liberal di timur tengah.

Hal menarik lainnya adalah perang ide ini (the war of ideas) sebagaimana halnya pada Perang Dingin, difokuskan pada dukungan terhadap partner beserta program kerjanya dan tidak dititikberatkan pada lawan. Beberapa kalangan yang dianggap potensial sebagai partner adalah:

a) intelektual dan akademisi muslim yang liberal dan sekuler,
b) ulama muda yang moderat,
c) komunitas-komunitas aktivis,
d) kelompok-kelompok perempuan yang terlibat dalam kamapanye kesetaraan dan,
e) penulis dan jurnalis moderat.

Lebih dari itu pemerintah AS harus menjamin pandangan-pandangan dan program kerja individu-indivudu tesebut. Sebagai contoh pemerintah AS harus menjamin bahwa kelompok-kelompok ini (baca : antek mereka) dilibatkan pada berbagai kongres, membuat mereka lebih dikenal oleh para pembuat kebijakan dan membantu menjaga dukungan dan sumber AS untuk tujuan kampanye publik.

Menurut lembaga riset ini, radio dan televisi merupakan alat yang paling dominan yang digunakan oleh AS dalam menyebarkan isu-isu tersebut. Di Timur Tengah, jaringan televisi AS di Timur Tengah, Al Hurra dan radio As Sawa merupakan contoh media yang menjadi corong AS.

Setiap tahunnya media mendapat dana sebesar U$ 70 juta dollar. Meski demikian direkomendasikan agar pendanaan langsung seperti itu sebaiknya ditujukan untuk mendukung outlet-outlet media lokal dan jurnalis yang mengikuti agenda yang demokratik dan pluralistik.

Pada tahun 2003, Rand Corporation juga mengeluarkan beberapa rekomendasi kepada pemerintah AS dengan judul: Civil Democratic Islam: Partners, Resources, and Strategies. Lembaga ini merekomendasikan kepada pemerintah AS menjalin hubungan dan kerjasama dengan kelompok modernis, tradisionalis termasuk kelompok-kelompos Sufi untuk menghadang perkembangan kelompok fundamentalis yang dianggap menghambat perkembangan demokrasi.

Adapun strategi mendukung kelompok modernis untuk melawan kaum fundamentalis adalah:
• mempublikasikan dan mendistribusikan hasil kerja mereka dengan biaya yang disubsidi
• mendorong mereka menulis untuk massa dan untuk pemuda memasukkan pandangan-pandangan mereka ke dalam kurikulum pendidikan Islam
• memberikan mereka platform publik
• menyediakan opini dan sikap mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang agama sebagai tandingan kaum fundamentalis dan tradisionalis yang memiliki website, rumah produksi, sekolah, institute dan berbagai kendaraan lain dengan tujuan untuk menghambat pemikiran kaum fundamentalis dan tradisionalis.
• Memposisikan sekularisme dan modernisme sebagai pilihan counterculture bagi pemuda muslim yang belum terpengaruh.
• Memfasilitasi dan mendorong kesadaran terhadap budaya dan sejarah pra-Islam dan yang tidak islami melalui media dan kurikulum di negara-negara yang relevan.
• Membantu pembangunan organisasi sipil yang independen untuk mempromosikan budaya sipil dan,
• mendorong penduduk lokal untuk mendidik diri mereka tentang proses politik dan mengartikulasikan pandangan-pandangan mereka.

Bila dillihat dari strategi ini, maka tidak aneh bila, penelitian yang tak bermutu sebagaimana dilansir oleh Setara maupun berbagai LSM dan akademisi perguruan tinggi yang dibiayai oleh USAID maupun Asia Foundation diterbitkan dan dianggap sebagai karya ilmiah. Tak heran juga bila banyak ormas Islam, seperti FPI menerima banyak permintaan wawancara untuk kepentingan “penelitian” baik oleh LSM yang baru terdengar namanya, maupun oleh berbagai pusat studi yang banyak menjamur di perguruan tingi karena tersedianya dana dari berbagai lembaga yang berafiliasi dengan Zionis Internasional.

Begitu juga bila kita perhatikan berbagai acara televisi dan media lainnya, yang rajin memuat rubrik dan berita tentang upacara adat dan tradisi yang berasal dari budaya animism dan dinamisme serta banyak mengandung kemusyrikan dalam berbagai ritual, baik yang menggunakan simbol Islam maupun sekedar tradisi budaya.

Begitu juga getolnya Thamrin Tamagola yang menjadi Ketua Aliansi Bhineka Tunggal Ika untuk membangkitkan nilai-nilai adat pra Islam. Ini tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mengembalikan masyarakat agar berpegang pada ajaran musyrik pra Islam. Apa yang dilakukan oleh Thamrin tersebut merupakan perpanjangan dari agenda dan strategi Rand Corporation untuk memerangi kebangkitan Islam.

Sementara strategi untuk kaum tradisionalis adalah:
• Mempublikasikan kritik terhadap kekerasan fundamentalis dan kaum ekstrimis
• Mendorong munculnya pertentangan antara tradisionalis dan fundamentalis
• Menghambat aliansi antara kaum tradisionalis dan fundamentalis
• Mendorong kerjasama antara kelompok modernis dan tradisionalis yang lebih dekat dengan kelompok modernis
• Mendidik kelompok tradisionalis untuk memberikan bekal kepada mereka agar dapat berdebat melawan kelompok fundamentalis karena kelompok fundamentalis dianggap sering memiliki retorika yang lebih superior
• Meningkatkan citra dan profil kelompok modernis di institusi tradisionalis
• Membedakan berbagai aliran tradisonal dan mendorong mereka agar memiliki persaman dengan kelompok modernis
• Mendorong popularitas dan penerimaan kelompok Sufi

Pada bagian ini, dokumen Rand secara tegas memuat strategi agar kaum “Tradisionalis”, yang mereka identifikasi berasal dari kalangan pesantren, untuk diadu dan dijadikan garda terdepan dalam melawan kaum “Fundamentalis”. Inilah yang menyebabkan Ulil maupun Guntur Romli dan Nuril Arifin, mati-matian berusaha untuk bisa menjadi pengurus NU, agar bisa mereka gunakan untuk memusuhi dan menggerakkan santri untuk melawan umat Islam lainnya. Untungnya strategi para “preman” ini tidak berhasil berkat kesadaran dan iman kalangan pesantren yang sudah mengetahui belangnya mereka.

Sementara starategi untuk melawan kelompok fundamentalis adalah:
• Melawan interpertasi mereka tentang Islam dan menampakkan ketidak akuratannya
• Mengungkap hubungan mereka dengan kelompok dan tindakan yang ilegal
• Mempublikasikan konsekuensi tindak kekerasan mereka
• Mendemontrasikan ketidakmampuan mereka dalam memimpin untuk meraih pembangunan yang positif bagi negara dan komunitas mereka
• Menyebarkan pesan khsususnya kepada generasi muda, penduduk tradisionalis yang saleh, kelompok minoritas di Barat dan kepada perempuan
• Mencegah memperlihatkan penghormatan dan kekaguman terhadap kekerasan kaum fundamentalis ekstrimis dan teroris.
• Menstigma mereka sebagai pihak perusak dan pengecut dan bukan sebagai pahlawan
• Mendorong para jurnalis untuk menginvestigasi isu-isu korupsi, sikap hipokrit dan tindakan amoral kelompok fundamentalis dan teroris
• Mendorong perpecahan diantara kelompok fundamentalis.

Kalau kita perhatikan strategi Zionis pada bagian ini, maka tidak heran bila kita sering sekali menonton dan menyaksikan berita-berita yang memutar balikkan fakta seperti pada kejadian Monas dan Ciketing Bekasi. Ternyata fakta-fakta yang terungkap di persidangan tidaklah sama dengan apa yang diberitakan oleh media massa bahwa umat Islam melakukan serangan terhadap kelompok agama lain. Namun, fakta-fakta yang terungkap ini tak pernah dimuat oleh media massa, untuk mengoreksi pemberitaan sebelumnya, karena memang agenda mereka adalah memberikan image negative kepada Ormas Islam agar tidak menjadikan Ormas dan aktivis Islam sebagai Pahlawan dan harus dicitrakan sebagai pelaku kejahatan. (Ibnu Hamid)

http://www.suara-islam.com/news/tabloid/suara-utama/1755-fitnah-antek-antek-zionis-amerika-di-indonesia

Latah Natal: Bagai NKRI Negeri Nasrani

Oleh: M. Aru Syeif Assadullah

Ini fenomena lebih satu dekade terakhir. Tiap-tiap kali datang perayaan Hari Natal, negeri Muslim NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) ini, mendadak-sontak berubah menjadi Negeri Kristen-Nasrani. Bagai penduduk NKRI 235 juta jiwa, mayoritas beragama Kristen. Padahal catatan resmi jumlah penduduk Indonesia tetaplah 88% lebih beragama Islam, sehingga dikenal sebagai Negara Muslim terbesar di dunia.

Perhatikan saja suasana Natal begitu mendominasi ruang-ruang publik.Topi merah runcing berkuncrit sinterklas dikenakan oleh semua pelayan toko. Lagu-lagu gerejani didengungkan di mal-mal, tempat rekreasi, peron kereta api, hingga di dalam kapal ferry penyebrangan dan pesawat terbang. Belum lagi suasana di media elektronika TV, yang demam Natal dan gereja. Pendek kata suasana yang total warna gereja ini bahkan tidak terjadi seperti ini di berbagai negara Eropa yang memang Kristen sekalipun.

Gejala yang sangat aneh ini terjadi dan sukses karena desakan perjuangan tokoh Kristen Radikal di era Soeharto. Fenomena ini pun tercipta karena kelicikan orang-orang Nasrani tertentu yang terus-menerus “mencekoki” bangsa Indonesia dengan desakan opini, di balik isu tekanan mayoritas. Seolah-olah orang-orang Kristen sebagai minoritas kehidupannya sangat ditekan oleh mayoritas Islam. Berbagai kasus pembakaran gereja dan pembunuhan Pastur dijadikan amunisi dan pembenar kelompok Kristen benar-benar tertindas di Indonesia. Lalu muncul berbagai istilah minoritas-mayoritas, primordialisme, yang menyudutkan posisi kaum mayoritas Islam. Padahal berbagai kasus pembakaran gereja terjadi di satu daerah karena orang-orang Kristen memaksakan diri membangun gereja, kendati di daerah tersebut hanya terdapat beberapa gelintir saja pengikut Kristen.Aparat keamanan tidak memenuhi gugatan umat Islam agar pembangunan gereja yang sangat melanggar SKB tiga menteri itu dihentikan. Umat Islam pun menempuh jalan kekerasan, gereja dibakar.

Jadilah sepanjang pemerintahan rejim Soeharto—setidaknya 25 tahun sejak awal-- sangat memanjakan posisi orang minoritas. Perhatikan saja komposisi kabinet-kabinet rejim Soeharto yang selalu menempatkan posisi strategis di tangan orang-orang Kristen, seperti Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Gubernur BI, Menkopolkam, Menpangab, Menhan dan jabatan strategis lainnya. Tak kurang 30-35% kursi kabinet yang paling strategis diduduki orang-orang Nasrani. Ingat-ingat saja sejumlah menteri Kristen rejim Soeharto yang terus mencengkeram jabatan ekonomi politik dan pertahanan, sampai beberapa periode seperti: Mareden Panggabean, Benny Moerdani, Sudomo, Sumarlin, Radius Prawiro, Adrianus Mooy, Cosmas Batubara dan serenceng nama lainnya. Begitu halnya nama-nama yang duduk di parlemen (DPR-MPR) pun berkisar 35% diisi orang-orang Kristen. Komposisi yang amat “jomplang” ini mulai diluruskan oleh Soeharto sejak akhir 1980-an. Habibie pun mulai mempopulerkan istilah asas proporsional. Dari sinilah kemudian orang-orang Kristen mulai merancang perlawanan untuk menjatuhkan Soeharto dengan memperalat tokoh-tokoh Islam dan kekuatan lainnya.

Tirani Minoritas


Sejatinya apa yang dilakukan golongan Kristen, sebagai minoritas di Indonesia—tak lebih jumlahnya 7% saja—tak pelak merupakan perilaku Tirani Minoritas di dalam negeri yang mayoritas bahkan negeri Islam terbesar di dunia. Perjuangan mendesakkan pengakuan agar disejajarkan semua aspirasinya dengan aspirasi Islam, berhasil dipenuhi rejim Soeharto. Momentum hari raya Natal menjadi momentum pilihan. Fasilitas yang disediakan pemerintah untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri dituntut juga disediakan untuk Hari Natal. Jika pada Hari Lebaran dibentuk satuan pengaman oleh Polri dengan julukan Operasi Ketupat, maka dituntut harus diadakan pula Operasi Lilin. Fasilitas penyediaan alat transportasi pun digembar-gemborkan harus disediakan setara Hari Lebaran untuk pemudik Natal. Padahal pemudik Natal sama sekali tidak ada. Persediaan logistik sembako dan BBM dituntut pula seolah-olah harus ditambah jumlahnya untuk kepentingan Natal. Padahal kebutuhan yang sebenarnya untuk konsumsi Natal tidaklah meningkat sebagaimana konsumsi Lebaran. Desakan golongan Kristen agar fasilitas Natal disediakan pemerintah setara dengan fasilitas Lebaran, bermakna agar Natal dihargai sama besarnya dengan Lebaran. Padahal hanya beberapa gelintir saja penduduk negeri ini yang benar-benar merayakan Natal.

.
Menggelembung di Era Reformasi

Rancangan orang Kristen—kendati minoritas—agar menguasai negeri ini pun makin merajalela justru di era pasca jatuhnya rejim Soeharto yakni di era reformasi, 1998. Alam kebebasan dan demokrasi dimanfaatkan maksimal golongan Kristen. Dengan lantang dan vocal orang Kristen mulai melawan berbagai kebijakan yang dianggap memberangus Kristen, seperti pendirian gereja. Mereka menolak SKB Tiga kementrian. Di berbagai daerah yang justru jumlah penduduknya seimbang dengan jumlah orang Islam, orang Kristen mulai terang-terangan melecehkan orang Islam, bahkan membantai orang Islam dengan sangat biadab. Inilah yang terjadi di Ambon, Poso, dan Kalimantan Barat serta Kalimantan Tengah.

Ekspresi keberanian lebih tepat kekurangajaran orang Kristen justru di era reformasi satu dekade terakhir ini makin hari makin menggelembung. Alam demokrasi dan kebebasan dijadikan dalih yang kuat untuk bertindak apapun bentuknya. Setelah berhasil memaksa seluruh masyarakat untuk mengikuti Natal, mereka mulai menggugat batasan dan aturan pembangunan rumah ibadah (gereja). Mereka bahkan mulai berani menentang pembangunan masjid di daerah Jakarta Timur. Berbagai perusahaan besar yang dimiliki aktifis gereja menerapkan diskriminasi terhadap karyawan beragama Islam. Karyawati yang mengenakan jilbab pun dilarang. Keberanian ini hasil perundingan mereka di gereja dengan perhitungan solidaritas Islam kini dianggap lemah. Kecuali kasus Ambon yang didukung Lasykar Jihad, praktis orang Islam dianggap hanya berhenti protes melalui demonstrasi saja. Satu sama lain di antara kelompok Islam tidak mudah menyatukan persatuan cita-cita. Sebaliknya mereka saling “gontok-gontokan” satu sama lain.

Dalam momentum Natal dan Tahun Baru 2009-2010 saat ini berbagai peristiwa mewarnai fenomena “kebringasan” orang-orang Kristen untuk menunjukkan eksistensinya saat ini yang mulai memenangi berbagai program Kristenisasi di Negeri Muslim NKRI ini. Perhatikan saja, selain acara-acara Natal yang sudah berhasil dibuat sangat dominan di Indonesia, mereka bahkan menggelar acara Natal di sebuah televisi dengan menggunakan bahasa Arab.Dengan sangat bangga acara Natal pun di buat dalam versi Bahasa Jawa, Bahasa Bali, dan bahasa daerah lainnya untuk mengukuhkan dominasi itu.

Beberapa kabupaten di Papua kini pun menerapkan Perda Injil. Namun Perda Injil ini berbeda dengan Perda Syariat yang toleran kepada pengikut agama lain. Pada Perda Injil di Papua menerapkan larangan kepada orang Islam melantunkan adzan di Masjid, melarang perempuan mengenakan busana Muslimah, jilbab dan lain-lain larangan. Walhasil perilaku amat menindas mereka tunjukkan di satu daerah di mana mereka mayoritas, seperti di Papua dan Nusa Tenggara Timur, juga Timor-Timur (saat masih bergabung dengan NKRI).,namun di hampir semua wilayah NKRI mereka dalam posisi minoritas, mereka pun “mengembik” dalam perlawanan sebagai tirani minoritas.

Yang sangat mengkhawairkan adalah perjuangan “Pahlawan-Pahlawan Injil” ini justru di dukung oleh tokoh-tokoh Islam Liberal (seperti dibedah oleh Habib Muhammad Rizieq Syihab MA pada edisi SI No. 80, 18 Desember 2009 lalu berjudul: Syubhat Natal). Sikap orang-orang Islam Liberal yang sejatinya terdiri kaum Komprador dan abdi kepentingan bangsa Barat yang Kristen, lebih tegas lain adalah ekspresi sikap inferiority complex, di kalangan mereka yang semula memang terdiri kaum urban yang sarat oleh kemiskinan dan ketertinggalan. Lalu bagaimana sikap umat Islam menghadapi fenomena Kristenisasi yang “menggila” ini ?

Jika umat Islam mau menengok sejarah lima abad-abad terakhir sebenarnya perjuangan (Baca: Kristenisasi) orang Katolik (Portugis) dan Kristen (Inggris-Belanda) melalui kolonialisme dalam missi zending mereka telah berhasil meng-Katolikkan seluruh daratan Amerika Latin.Ke arah Timur missi mereka berhenti sampai di Philipina saja. Tanah Melayu, Samudera Pasai dan kawaan Nusantara yang kini bernama NKRI, tak mampu ditaklukkan oleh missie zending mereka. Kawasan Nusantara terjaga oleh peranan para wali,dan dilanjukan para du’at di Nusantara dari ke Abad 17 hingga hari ini. Di awal abad lalu lahir Muhammadiyah (1912) disusul lahirnya Nahdlatul Ulama 1926). Fakta inilah yang harus disyukuri, sebagai berkah dan penjagaan Allah Swt.

Walau demikian, fenomena perayaan Natal yang mengindikasikan kemenangan semu golongan Nasrani dengan berbagai perayaan mereka yang over dosis sepuluh tahun terakhir ini mutlak harus direspon dengan “perlawanan” yang lebih tegas kepada keberanian mereka yang semakin “kurang ajar” itu. Inilah jawaban kita yang harus segera menjadi sikap bersama seluruh umat Islam di Nusantara. []

http://www.suara-islam.com/news/muhasabah/resonansi/470-latah-natal-bagai-nkri-negeri-nasrani

Awas Liberalisme dalam Tiga Bidang

Pemikiran-pemikiran yang disebarkan kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) bertujuan untuk membongkar kemapanan beragama dan tradisi warga NU (Nahdliyin). Caranya dengan melakukan liberalisasi dalam tiga bidang yakni aqidah, pemahaman Al-Quran, dan syariat serta akhlaq.

Liberalisasi dalam bidang aqidah yang diajarkan JIL, misalnya, bahwa semua agama sama, dan tentang pluralisme. Dua hal ini bertentangan dengan aqidah Islam Ahlussunnah Waljamaah.

Demikian disampaikan KH Abdullah Samsul Arifin, Ketua Tanfidziyah PCNU Jember mewakili para kiai muda yang tergabung dalam Forum Kiai Muda Jawa Timur, kepada NU Online, Senin (12/10).

Ahad (11/10) kemarin Forum Kiai Muda Jatim ini menggelar dialog dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) yang diadakan di Pondok Pesantren Bumi Sholawat, Tulangan Sidoarjo.

Dari hasil dialog Furum Kiai Muda Jatim menyimpulkan, dalam bidang aqidah, warga NU meyakini bahwa agama Islam sebagai agama yang paling benar, dengan tidak menafikan hubungan yang baik dengan penganut agama lainnya yang memandang agama mereka juga benar menurut mereka.

Sementara ajaran pluralisme yang dikembangkan JIL berlainan dengan pandangan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa) yang dipegang NU yang mengokohkan solidaritas dengan saudara-saudara sebangsa. NU juga tidak menaruh toleransi terhadap pandangan-pandangan imperialis neo-liberalisme Amerika yang berkedok “pluralisme dan toleransi agama”.

Liberalisasi kedua yang dikembangkan JIL adalah dalam bidang pemahaman Al-Qur’an yang diajarkan JIL, misalnya Al-Quran adalah produk budaya dan keotentikannya diragukan, tentu berseberangan dengan pandangan mayoritas umat Islam yang meyakini Al-Quran itu firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan terjaga keasliannya.

Liberalisasi ketiga dalam bidang syari’ah dan akhlaq. JIL mengatakan bahwa Hukum Tuhan itu tidak ada, jelas bertolak belakang dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah yang mengandung ketentuan hukum bagi umat Islam.

JIL juga mengabaikan sikap-sikap tawadhu’ dan akhlaqul karimah kepada para ulama, kiai. JIL juga tidak menghargai tradisi pesantren sebagai modal sosial bangsa ini dalam mensejahterakan bangsa dan memperkuat Pancasila dan NKRI.

Furum Kiai Muda Jatim mengingatkan, ide-ide liberalisasi, kebebasan dan hak asasi manusia (HAM) yang diangkat oleh kelompok JIL dalam konteks NU dan pesantren tidak bisa dilepaskan dari Neo-Liberalisme yang berasal dari dunia kapitalisme, yang mengehendaki agar para kiai dan komunitas pesantren tidak ikut campur dalam menggerakkan tradisinya sebagai kritik dan pembebasan dari penjajahan dan kerakusan kaum kapitalis yang menjarah sumber-sumber daya alam bangsa Indonesia. (nam, nu online)

sumber foto: www.nujatim.or.id

http://www.suara-islam.com/news/berita/nasional/147-awas-liberalisme-dalam-tiga-bidang

Kelompok Liberal Kalah di MK

Usaha kelompok liberal untuk meliberalisasi kehidupan beragama di Indonesia kandas. Pasalnya, permohonan uji materi terhadap UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang mereka ajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) ditolak seluruhnya oleh MK pada sidang pleno pembacaan putusan, Senin (19/4).


Sekedar mengingatkan para pembaca, uji materi UU Penodaan Agama itu dilakukan oleh 7 (tujuh) LSM dan 4 pemohon prinsipil (individual).

Melihat nama-nama LSM dan pribadi-pribadi yang menjadi pemohon, tidak pelak orang-orang langsung mengkaitkan mereka dengan organisasi yang menamakan diri AKKBB (Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan).

LSM dan pribadi-pribadi inilah yang selama ini dikenal menjadi “otak” di belakang kegiatan AKKBB. Demikian halnya nama-nama anggota Tim Advokasi Kebebasan Beragama (TAKB) seperti Asfinawati, Uli Parulian Sihombing, Choirul Anam dkk, yang juga dikenal aktifis LSM yang tergabung dalam AKKBB.

AKKBB adalah kumpulan LSM dan orang-orang liberal yang terlibat dalam Insiden Monas 1 Juni 2008. Mereka adalah para pembela aliran sesat Ahmadiyah.

Berikut daftar nama pemohon uji materi UU No. 1/PNPS/1965 tersebut:
1. Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), beralamat di Jl. Diponegoro No. 9, Jakarta Pusat. Diwakili oleh Rachland Nashidik, WNI, lahir di Tasikmalaya, 22 Februari 1966, beragama Islam. Jabatan Direktur Eksekutif.

2. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), beralamat di Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Jakarta Selatan. Diwakili oleh Asmara Nababan, WNI kelahiran Siborong-borong, 2 September 1946, beragama Kristen. Jabatan Ketua Dewan Pengurus.

3. Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI). Beralamat di Rukan Mitra Matraman Blok A2 No. 18 Jl. Matraman Raya No. 148 Jakarta Timur. Diwakili oleh Syamsuddin Radjab, WNI, Lahir di Jeneponto, 24 Februari 1947, agama Islam, jabatan Ketua Badan Pengurus Nasional.

4. Perkumpulan Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (Demos). Beralamat di Gedung Griya Upakarya Lt. III Unit. 3 Jl. Cikini IV No. 10 Jakarta Pusat. Diwakili oleh Anton Pradjasto, WNI, lahir di Jakarta 28 Januari 1966, agama Katolik, jabatan Direktur Eksekutif.

5. Perkumpulan Masyarakat Setara. Alamat di Jl. Danau Gelinggang No. 62 Blok C-III Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Diwakili oleh Hendardi, WNI, lahir di Jakarta 13 Oktober 1957, agama Islam. Jabatan Ketua Badan Pengurus.

6. Yayasan Desantara (Desantara Foundation). Beralamat di Komplek Depok Lama Alam Permai Blok K3 Depok. Diwakili oleh Muhammad Nur Khoiron, WNI, lahir di Jombang 15 Januari 1974, agama Islam, jabatan Ketua Badan Pengurus.

7. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Beralamat di Jl. Diponegoro No. 74 Jakarta Pusat. Diwakili oleh Patra Mijaya Zen, WNI, lahir di Jakarta 26 Agustus 1975, agama Islam, jabatan Ketua Badan Pengurus.

Adapun pemohon pribadi yaitu:
1. Mendiang KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

2. Prof. DR. Musdah Mulia, WNI, pekerjaan peneliti, agama Islam. Lahir Di Bone 3 Maret 1958. beralamat di Jl. Matraman Dalam II No. 6 RT. 19 RW. 08, Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat.

3. Prof. Dawam Rahardjo, WNI, pekerjaan peneliti, lahir di Solo, alamat di Kelapa Kuning III.F.I/2 RT. 04 RW. 10 Pondok Kelapa, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur. Sekarang bertempat tinggal di Jl. Madrasah RT. 07 RW. 10 No. 573, Cawang I, Jakarta Timur.

4. KH. Maman Imanul Haq, WNI, lahir di Sumedang 8 Desember 1972, pekerjaan wiraswasta, tinggal di Dusun 03, RT. 01 RW. 02, Desa Ciborelang, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat.

Para pemohon tersebut memberikan kuasa kepada Tim Advokasi Kebebasan Beragama (TAKB) yang beralamat di Kantor YLBHI, Jl. Pangeran Diponegoro No. 74 Jakarta Pusat. (shodiq ramadhan).

http://www.suara-islam.com/news/berita/nasional/713-kelompok-liberal-kalah-di-mk

Forum Kiyai Muda Jatim: JIL Tak Punya Argumentasi Kuat

Pemikiran-pemikiran yang disebarkan oleh kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) tidak mempunyai argumentasi yang kuat. Pemikiran mereka lebih banyak berupa kutipan-kutipan ide-ide yang dicomot dari sana-sini, dan terkesan hanya asal-asalan.

Demikian dalam rilis pers Forum Kiai Muda Jawa Timur tentang kesimpulan hasil-hasil dialog dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) yang diadakan di Pondok Pesantren Bumi Sholawat, Tulangan Sidoarjo, Ahad (11/10) kemarin.

“Sdr Ulil Abshar Abdalla dengan JIL-nya tidak memiliki landasan teori yang sistematis dan argumentasi yang kuat. Pemikiran mereka lebih banyak berupa kutipan-kutipanide-ide yang dicomot dari sana-sini, dan terkesan hanya sebagai pemikiran asal-asalan belaka (plagiator), yang tergantung musim dan waktu (zhuruf), dan pesan sponsor yang tidak berakar dalam tradisi berpikir masyarakat bangsa ini,” demikian dalam rilis pers Forum Kiai Muda NU Jatim.

Dinyatakan, pemikiran-pemikiran JIL bertujuan untuk membongkar kemapanan beragama dan bertradisi kaum Nahdliyin. Cara-cara membongkar kemapanan itu dilakukan dengan tiga cara yakni iberalisasi dalam bidang aqidah, liberalisasi dalam bidang pemahaman Al-Qur’an, dan liberalisasi dalam bidang Syariat dan Akhlaq.

JIL juga cenderung membatalkan otoritas para Ulama Salaf dan menanamkan ketidakpercayaan kepada mereka, sementara di sisi lain mereka mengagumi pemikiran orientalis Barat dan murid-muridnya seperti Huston Smith, John Shelby Spong, Nasr Hamid Abu Zaid dan sebagainya.

Namun Forum Kiai Muda Jatim mengingatkan, menghadapi pemikiran-pemikiran JIL tidak dilawan dengan amuk-amuk dan cara-cara kekerasan, tapi harus melalui pendekatan yang strategis dan taktis, dengan dialog-dialog dan pencerahan. (nam, nu online)

http://www.suara-islam.com/news/berita/nasional/148-forum-kiyai-muda-jatim-jil-tak-punya-argumentasi-kuat

Sepak Terjang Antek Zionis di Indonesia

Di dalam laporan Rand Corporation, “Building Moderate Muslim Networks”, dipaparkan beberapa institusi di Asia Tenggara khususnya Indonesia yang menjadi pilar utama jaringan AS. Institusi-institusi yang terdiri dari berbagai Ormas Islam dijadikan target garapan oleh jejaring AS di Indonesia, baik melalui aparat Pemerintah maupun aktivis LSM.

Sejumlah lembaga pendidikan tinggi dan lembaga sosial yang berafiliasi dengan Ormas Islam juga menjadi tempat perekrutan bagi AS dan agennya seperti misalnya Center for the Study of Religion and Democracy, lembaga yang aktif mengkampayekan demokrasi liberal.

Organisasi lain yang dianggap cukup mapan adalah Jaringan Islam Liberal yang didirikan pada tahun 2001 oleh Ulil Absar. Salah satu misi dari institusi ini adalah mengcounter perkembangan pengaruh dan kegiatan kelompok militan dan radikal Islam di Indonesia.

Meski demikian lembaga pendidikan dianggap sebagai kunci dalam pengembangan liberalisme, yaitu melalui Pesantren dan Madrasah yang banyak tersebar di Indonesia. Menurut laporan tersebut sejumlah kurikulum untuk tujuan sekulerisasi telah dimasukkan ke dalam lembaga tersebut meski pendidikan Islam tetap menjadi fokus pendidikan mereka.

Berbagai Universitas Islam yang terdiri dari Universitas negeri Islam (UIN) dengan lebih dari 100.000 mahasiswa, maupun berbagai Universitas yang berada dibawah naungan Ormas Islam juga disusupi oleh para antek Zionis dan Amerika ini. Baik IAIN dan universitas-universitas Islam swasta lainnya telah menganut ide pluralisme dan demokrasi. Universitas Gajah Mada juga telah membentuk Center for Religious Cross-Cultural Studies atas saran dari mantan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab.

Untuk merekrut tokoh-tokoh dan aktivis Muslim, maka jaringan Rand dan CIA di Indonesia, CSIS yang bermarkas di Tanah Abang III, melalui Yusuf Wanandi, menghubungkan para tokoh dan aktivis ini kepada salah satu Jaringan Zionis Internasional yaitu Trilateral Commission. Lembaga ini setiap tahun mengadakan pertemuan rutin di Amerika dengan mengundang beberapa tokoh dan “cendikiawan” dari Indonesia. Para tokoh dan cendikiawan katrok merasa sangat bangga sekali bila bisa diikut sertakan dalam pertemuan yang sering kali dijamu makan malam di Capitol Hill, yaitu gedung kongres Amerika Serikat dan terkadang di jamu di Gedung Putting, kantor Presiden As. Pada tahun 2002 dan 2005, Syafii Maarif dan Azyumardi Azra ada dalam daftar sebagai pembicara dalam pertemuan ini. Entah apa yang mereka presentasikan tentang Islam dan dunia Islam.

Media Massa

Salah satu media yang paling berpengaruh adalah jaringan radio Islam dengan tajuk Liberal Religion and Tolerance, yang dikelola oleh Kantor Berita Radio 68 H milik Goenawan Mohammad, seorang jurnalis senior yang juga pemilik majalah Tempo yang pernah mendapat penghargaan sebanyak 2 (dua) kali dari Israel. Transkrip dialog radio ini telah dipublikasikan di jaringan Jawa Pos Group dan sindikatnya yang lebih dari 70 media.

Institusi pembangunan Demokrasi. Salah satu organisasi yang masuk dalam kategori ini adalah Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakspedam), salah satu lembaga NU yang terlibat pada pendidikan pemilih di Jatim yang didanai oleh Asia Foundation dan Ford Foundation.di Lakpesdam inilah orang orang Liberal dikader dan berlindung. Badan lainnya adalah PM3, yang didirikan oleh Masdar F Masudi, LSM berbasis pesantren yang aktif melakukan diskusi di pesantren tentang peran negara dalam mengatur agama.

Upaya Pembangunan Jaringan Regional. Asia tenggara dianggap sebagai salah satu pusat pengembagan jaringan regional. Salah satu pelopor organisasi regional tersebut adalah International Center for Islam and Pluralism (ICIP) yang didanai oleh Ford Fondation, yang diketuai oleh Syafii Anwar. Misi dari organisasi ini adalah membangun jaringan LSM Muslim dan aktivis dan intelektual muslim yang progresif di kawasan Asia Tenggara (dan akhirnya di seluruh dunia) dan sebagai kendaraan untuk menyebarkan ide-ide pemikir-pemikir muslim moderat dan progresif yang berskala internasional. Pada konferensi di Manila September 2005, salah satu agenda organisasi ini adalah pelaksanaan diskusi di masing-masing negara untuk membuktikan bahwa demokrasi sejalan dengan Islam dan secara spesifik menunjukkan bahwa nilai-nilai Demokrasi terdapat di dalam Al Qur’an.

Saat ini telah juga berdiri Moderate Muslim Society yang dipimpin oleh Zuhairi Misrawi yang aktif melobby petinggi Negara termasuk Ketua MPR dan masuk ke menjadi pengurus Baitul Muslimin yang didirikan PDIP. Begitu juga keberadaaan SETARA Institute yang saat ini aktif jadi corong Rand Corp dan USAID. LSM SETARA Institute ini dimotori oleh para aktivis yang dulu aktif sebagai pendukung kemerdekaan Timor Timur melalui LSM Solidamor, yaitu Hendardi dan Bonar Tigor Naipospos.

Sejatinya, apa yang dilakukan oleh aktivis LSM, seperti Hendardi, Ulil, Zuhairi tak lain dan tak bukan adalah sekedar menjalankan agenda kaum Zionis Internasional untuk menuju kepada Tatanan Dunia Baru (Novus Ordo Seclorum) dan Satu Pemerintahan Dunia (E Pluribus Unum) di bawah pimpinan kaum Zionis. Untuk mencapai tujuan ini, maka diperlukan conditioning (pengkondisian) yaitu manusia perlu disiapkan untuk menerima tata nilai yang ditentukan oleh Zionis Internasional.

Inilah makar kaum Kuffar yang bersekongkol dengan golongan munafiqin lokal, yang dalam istilah para Zionis Internasional disebut sebagai Our Local Friend. Umat Islam harus bangkit melawan makar ini dengan cerdik dan menyiapkan staregi jangka panjang. Wamaakaaru wamakarallah wallahul khoirul makiriin

(Ibnu Hamid, dari berbagai sumber)

http://www.suara-islam.com/news/tabloid/suara-utama/1756-sepak-terjang-antek-zionis-di-indonesia